Sekolah Baru, Semangat Baru
![]() |
Ilustrasi anak usia Sekolah Dasar (sumber: canva) |
AmazingSedekah.com-Tak terasa, tahun ajaran baru pun tiba. Setiap pertengahan tahun, selalu dimulai ajang penerimaan peserta didik baru yang kerap disingkat PPDB. Sebagian besar anak menyambut gembira momen ini setelah liburan panjang sekian lama. Terbayang seragam, sepatu, buku-buku, alat tulis, dan seluruh perlengkapan sekolah—maunya—yang serba baru. Yang paling sibuk menyiapkan keperluan anak-anak tentunya orang tua terutama para ibu. Apalagi kalau anak lanjut sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
"Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih baik daripada budi (pendidikan) yang baik." (HR Tirmidzi)
Sayangnya, terkadang sebagian dari kita justru
fokus pada persiapan sekolah dalam bentuk fisik. Seperti tas, baju, sepatu,
atau bahkan sepeda baru. Padahal, persiapan mental justru lebih dibutuhkan.
Terlebih untuk anak-anak yang baru masuk sekolah dasar (SD).
Peralihan dari sekolah TK ke SD, membutuhkan
adaptasi yang tidak mudah bagi sebagian anak. Ketika masuk SD, semuanya
berubah. Tak semua anak siap menghadapi situasi baru. Mereka kudu bangun lebih
pagi, lalu masuk kelas dan duduk tertib. Jam belajar di SD pun lebih lama,
sehingga anak-anak baru masuk SD rentan mengalami jenuh atau mengantuk. Selain
itu, kebanyakan anak bisa jadi canggung bersama teman-teman baru. Khawatirnya
gara-gara tak siap, mereka gagal beradaptasi dan mogok masuk sekolah.
Kadang orang tua lengah mengantisipasi
kesiapan anak untuk menyesuaikan diri dengan ritme sekolah dasar--yang tentu
berbeda dengan suasana sekolah di TK. Anak-anak saat di TK lebih banyak bermain
sambil belajar, jam belajar sedikit, serta sering libur. Jumlah buku yang
dibawa pun tidak banyak. Anak usia TK juga kebanyakan cenderung susah bangun
tidur lebih awal di pagi hari.
Nah, terkait ritme kebiasaan anak yang bangun
tidur kesiangan, ini juga jadi masalah yang sering dikeluhkan para ibu. Bisa
karena memang anak yang susah dibangunkan, tapi tak sedikit pula karena ibunya
yang tidak tega membangunkan. Wah, berabe, sih, kalau ibu-ibu tidak
tegaan membangunkan anak untuk sekolah. Bakal gagal proyek persiapan anak
sekolah hanya gara-gara ritme kebiasaan bangun tidur yang salah.
Membangunkan anak pagi-pagi merupakan proses
menanamkan kedisiplinan, sebagai bagian dari proses pendidikan anak. Dalam
Islam, kita dibiasakan disiplin dan hidup teratur mengikuti syariat-Nya agar
meraih sukses dunia akhirat. Salah satu penanaman kedisiplinan, di antaranya
adalah dengan membiasakan anak melaksanakan sholat fardhu tepat waktu. Terutama
sholat Subuh yang waktunya terbatas.
Adapun pendidikan anak dalam
Islam, merupakan kewajiban mulia, yang menjadi tanggung jawab orang tua serta
di-support oleh sekolah, masyarakat, dan negara. Selain itu, tak ada orang tua
yang tidak mendambakan putra-putrinya meraih predikat anak shalih, bukan? Anak
yang shalih merupakan investasi akhirat yang mendulang amal jariyah kelak bagi
orang tua di hari akhir.
“Apabila manusia telah wafat, maka amalnya terputus, kecuali sebab tiga hal: sodaqoh jariyah, ilmu bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan orangtuanya.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan lainnya).
Mendidik anak agar menjadi
shalih/shalihah tentunya membutuhkan pemahaman mendalam mengenai dasar-dasar
pendidikan anak dari perspektif Islam.
Sebelum
mendalami pendidikan anak, ada baiknya orang tua mengenal fase-fase pendidikan
anak terlebih dahulu. Supaya mampu menanamkan target pendidikan yang tepat
sesuai usianya. Banyak sekali
metode yang dapat diterapkan dalam mendidik anak dengan bermacam-macam sumber
yang dapat digali untuk mencari informasi mengenai bagaimana cara mendidik anak.
Salah satunya yakni mendidik anak dengan ala Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi
Thalib merupakan sosok khalifah ke-4 yang juga merupakan sahabat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.
Adapun fase pendidikan menurut
Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu adalah sebagai berikut:
Fase pertama:
kelompok anak usia 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun)
Fase ini sering disebut dengan
fase memperlakukan anak seperti raja. Menurut Khalifah Ali, 7 tahun pertama
dalam mendidik anak diibaratkan memperlakukan anak layaknya raja. Orang tua
perlu memberikan kasih sayang dan penuh perhatian kepada anak, tetapi tetap
tegas dengan cara yang lemah lembut. Juga tanpa memanjakan anak secara
berlebihan.
Apabila ingin memberitahukan
sesuatu, ayah ibu sebaiknya menggunakan bahasa yang sederhana yang mudah
dimengerti oleh anak tanpa disertai kekerasan. Pada fase inilah momen
terpenting untuk menanamkan dasar-dasar akidah serta kebiasaan dan kesukaan
untuk melaksanakan ibadah.
Anak-anak pada usia ini akan menghabiskan waktu
untuk bereksplorasi sehingga cenderung senang bermain. Hal tersebut sangat
wajar dan alangkah baiknya orang tua terus mendampingi anak sebagai bentuk
stimulasi tumbuh kembang. Selain itu, pada usia 7 tahun awal anak akan banyak
meniru orang di sekitarnya. Jadi, kita jalin bonding atau kedekatan yang kuat
dengan anak, sebab kedekatan adalah kunci keberhasilan pendidikan pada fase
ini. Kita juga berjuang memberikan anak teladan yang baik sehingga anak
tersebut kelak memiliki kepribadian Islam yang kokoh.
Hal ini berarti, orang tua harus mengurus anak
dengan sepenuh hati dan tulus. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah:
Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bersabda; “Muliakanlah
anak-anak kalian dan ajarilah mereka tata krama.”
Fase kedua: kelompok anak usia 7 tahun kedua (usia 7-14 Tahun)
Fase ini
dikenal sebagai proses membangun tanggung jawab seperti murid. Ketika anak
mencapai usia 7-14 tahun, mendidik anak diibaratkan sebagai mendidik
"murid". Waktu ini adalah saat yang tepat untuk mengarahkan anak
memahami aturan dan tanggung jawabnya. Orangtua kudu konsisten memberikan
arahan yang tegas dan adil, berkomitmen menegakkan aturan, sambil mengenalkan
nilai-nilai moral dan etika Islam yang lebih dalam.
Fase ini sering juga disebut
tahapan mendidik anak diibaratkan tawanan. Tawanan biasanya dikenakan berbagai
macam peraturan yang berisi kewajiban dan larangan. Namun, anak juga
mendapatkan haknya secara seimbang.
Rasulullah Saw. menganjurkan
seorang anak untuk melaksanakan sholat wajib mulai usia 7 tahun. Beliau
memperbolehkan orang tua memukul anak yang tidak mau sholat ketika anak tersebut
telah berusia 10 tahun. Akan tetapi, pukulannya tidak menyakiti, hanya memberi
efek jera saja.
Hukuman dan hadiah yang proporsional, bagus diterapkan di usia
ini, agar anak memahami arti tanggung jawab dan konsekuensi. Proporsional di sini
maksudnya, ketika memberikan hadiah atau hukuman, sesuaikanlah dengan karakter
dan kebiasaan anak. Di usia 7 – 14 tahun ini, anak juga kudu diajari
aturan-aturan syariat. Sebab anak dalam persiapan menuju baligh.
Perlu digarisbawahi, pada fase usia 7 tahun
ini, ternyata yang paling berperan adalah sosok ayah dalam proses pembentukan
kedisiplinan. Ayah tegas menetapkan apa yang boleh apa yang tidak. Peran ayah
yang tegas akan membuat anak segan dan patuh. Namun, ketegasan tersebut bukan
berarti ngegas, atau sambil marah-marah melibatkan emosi. Tegas bisa
dilakukan dengan bijak dan lemah lembut, tapi tetap menunjukkan kesalahan dan
memberikan hukuman sebagai konsekuensi dari pelanggaran aturan.
Misalnya, bangun Subuh kesiangan
terus, maka ayah bisa memberi hukuman yang bikin jera tanpa menyakiti fisik
atau mental anak. Hukumannya bisa tidak diizinkan bermain hari itu, atau
disuruh mencabuti rumput, dan lain sebagainya.
Fase ketiga: kelompok anak usia 7 tahun ketiga (usia 14-21 tahun), fase memperlakukan anak sebagai sahabat
Pada usia remaja, anak-anak umumnya
menginjak akil baligh, menuju fase kedewasaan yang memerlukan panduan lebih
lanjut. Orangtua sebaiknya memposisikan diri di hadapan anak layaknya sahabat,
seperti yang diajarkan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Pada fase ini juga kita mengajarkan
anak tentang tanggung jawab besar: sebagai hamba Allah, sebagai anak, dan
sebagai anggota masyarakat. Berikan kepercayaan pada anak untuk mengambil
keputusan, tapi tetap diarahkan dan diawasi agar tak terjerumus ke arah hal
negatif atau maksiyat. Artinya di fase ini, orang tua tidak otoriter, tapi
bersikap sebagai sahabat yang siap mendukung sekaligus mengingatkan, serta
senantiasa mendoakan anak.
Demikianlah anjuran Khalifah Ali
seputar pendidikan anak sesuai ajaran Islam. Pendidikan anak yang baik akan
menciptakan generasi cemerlang berkepribadian Islam yang kuat, berakhlaqul
karimah, dan menguasai iptek.
Komentar
Posting Komentar